Reggae Indonesia


Entah Reggae Indonesia - kenapa, belakangan ini pamor musik reggae seperti sedang mengkilap di Indonesia. Banyak musisi reggae bermunculan. Bahkan musisi kaliber Iwan Fals menyelipkan nomor reggae Mabuk Cinta dalam album terbarunya, 50:50. Seperti Iwan, Slank pun memainkan corak itu dalam barisan lagu terbarunya.

Uniknya lagi, pasukan reggae yang menggempur industri musik kita datang dari berbagai genre. Ada Shaggy Dog, band ska fenomenal asal Kota Gudeg yang sekarang mulai beralih ke reggae. Juga ada juga Steven & The Coconutreez, pengusung reggae asal Jakarta yang superaktif tiga tahun belakangan. Bahkan Souljah, band seangkatan Maliq & D’essentials ternyata juga mengusung aneka musik Jamaika. Nama tiga jagoan ini belakangan sering terpampang di poster pentas seni berbagai sekolah. Terutama Steven & The Coconutreez.

Lewat reggae, popularitas band yang merilis album di bawah bendera 267 Records ini tak kalah dibanding The Upstairs dan Nidji. Sudah puluhan kali, tiga band ini dipercaya jadi headliner berbagai pentas musik di Jakarta dan Bandung.

Selain Steven cs, belakangan muncul lagi generasi pengusung reggae yang lebih baru. Salah satu yang mengkilap adalah Ras Muhammad. Ras adalah seorang Rastafarian yang lama tinggal di Brooklyn, New York. Sejak kembali ke Indonesia 2005 lalu, Ras langsung merilis album terbarunya, Reggae Ambassador, di awal 2007. Sebuah album yang didistribusikan di bawah label Aksara.

Serunya, musik yang diusung Ras berbeda dengan warna reggae kebanyakan (tradisional). Ia bermain di genre dancehall. Genre ini merupakan sebuah akulturasi reggae dengan musik hiphop.

“Kalau mau diurut-urut, reggae itu memang dekat dengan hiphop. Keduanya sama-sama berasal dari jalanan. Dan, bisa berakulturasi jadi satu subgenre baru,” jelas Ras.

Musik reggae memang sudah melewati banyak perjalanan dan akulturasi. Band-band yang bermunculan sekarang juga membawa gaya masing-masing. Ada yang memilih main tradisional hingga ke modern. Hal ini diakui oleh Steven. Menurut vokalis gimbal ini, reggae yang sekarang beredar memang sudah tak lagi Marley-sentris alias memainkan musik yang menyerempet Bob Marley.

“Masyarakat reggae sekarang sudah mulai membuka mata. Banyak yang makin sadar kalau reggae adalah genre musik yang luas. Banyak sekali jenis musik yang bisa didengarkan untuk dijadikan referensi,” tambah Ras.

Meski perbedaannya sudah nyata terdengar, toh musik ini masih saja dianggap musik kelas dua. Perusahaan rekaman besar seakan enggan untuk menarik band reggae untuk menjadi anggota keluarganya.

TAK MENYERAH

Untungnya, musisi di aliran ini tak lantas menyerah. Mereka tetap berusaha. Menggedor perhatian massa lewat barisan album yang dirilis secara indie. ”Sekarang ini sudah eranya indie label. Kami bisa bebas berkarya dan merilis karya sendiri dan enggak tergantung lagi dengan label-label besar,” papar Tonny Q, salah satu dedengkot reggae sekaligus frontman Rastafara Band.

Yap! Semua artis yang disebut tadi memang merilis album mereka melalui indie label. Terbukti, mereka tetap survive bahkan, nge-hype.

“Kami santai, enggak perlu neko-neko. Yang penting itu berkarya, enggak usah pusing mikirin aspek-aspek industrinya. Dengan etos ikhlas ini, saya bisa tetap bertahan main reggae selama 18 tahun,” tambah Tonny..

Kesabaran Tonny barangkali kini sudah mulai menunjukkan hasil. Kalau barometernya adalah selera pasar, musik ini ternyata makin laus diterima. “Saya senang dengan kondisi sekarang. Ketika musik reggae mulai dipandang dan eksistensinya semakin diakui,” kata Steven.

“Kondisi saat ini sudah bagus, meskipun masih tergolong minoritas, tapi musik ini sudah mulai dikenal,” tambah Ras dalam kesempatan berbeda.

Rata-rata musisi berharap reggae bisa tumbuh secara alamiah dan tak berharap corak musik ini berkembang menjadi tren sesaat. “Musik ini mengalami progres yang positif! Luar biasa. Tapi tetep saja, saya dan teman-teman enggak mau musik ini jadi tren,” tegas Steven.

Hal ini juga dibenarkan oleh Bayu, gitaris Souljah. “Kami sebenarnya rada waswas juga dengan perkembangan seperti ini. Bukan masalah tren atau tidaknya, yang kami inginkan musik ini tetap stabil,” jelasnya.

Lalu, apa kira-kira yang membuat musik ini menjadi sedemikian melesatnya di Indonesia, sekarang ini? “Mungkin karena orang-orang kangen sama musiknya. Setelah bosan dengan musik-musik suguhan industri kita, reggae bisa jadi salah satu alternatif yang menarik,” terang Steven.

“Memang sudah waktunya. Tren musik kanseperti perputaran roda. Selama ini di bawah, sekarang mungkin sudah waktunya di atas. Ini juga berkat akumulasi kerja keras bertahun-tahun para teman-teman di scene ini,” tambah Bayu. “Kita itu beruntung punya band seperti Rastafara dan Imanez, yang terus eksis memainkan reggae,” tambah cowok yang dulunya sempet melaju bareng band hip metal, Scope, itu.

KOMUNITAS

Selain peran band-band lawas yang konsisten memainkan reggae, ternyata ada satu lagi yang berperan besar menjaga kelestarian reggae di Indonesia. Apa lagi kalo bukan komunitas.

Sejak saat reggae mulai mewabah di tahun ’80-an, dan pengusung reggae lokal masih sebatas Asian Roots, Black Company dan band seangkatan, komunitas reggae sudah terbentuk. Dan itu makin berkembang saat bekas penikmat ska ikut hijrah memperkuat komunitas reggae. “Komunitas reggae saat ini sudah lebih menyatu. Semakin solid dan asik,” kata Bayu, antusias.

Sementara, Ras punya pendapat yang berbeda. Menurutnya, saat ini scene reggae di Indonesia masih terbagi dua: Rude Boy dan para Dreadlock. Meski beda jalan, keduanya sepakat untuk sama-sama membangun eksistensi reggae.

Berbekal komunitas yang asik, program pemeliharaan reggae jadi lebih mudah dijalankan. Caranya, lewat penyelenggaraan acara reggae yang lebih rutin.

“Sekarang anak-anak sering bikin acara di Stardust. Selain itu ada juga acara rutin reggae di BB’s Menteng dan acara ska di Colours. Pokoknya, acara jadi semakin banyak,” papar Bayu.

Memang. Tonny Q dan Rastafara rutin bermain di BB’s setiap Rabu dan Jumat. Sementara itu, selain menggelar event musik live, komunitas juga membangun acara radio yang khusus memutar musik Jamaican. “Pokoknya kami berusaha keras untuk memajukan genre musik ini. Minimal eksistensinya stabil,” begitu tambah Bayu, berharap.
Share on Google Plus

About Putra Andana

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.